Rabu, 01 Oktober 2008

BUDAYA PANDALUNGAN


BUDAYA PANDALUNGAN
Bentuk Multikulturalitas dan Hibridisasi Budaya Antar Etnik





I. Pendahuluan
Konsep pandalungan sebenarnya merupakan konsep lokal yang masih belum jelas maknanya secara definitif. Akan tetapi konsep ini banyak dipergunakan oleh sebagian besar masyarakat untuk menunjukkan adanya percampuran budaya antar etnis, terutama etnis dominan Jawa dan etnis dominan Madura di wilayah Jawa Timur. Secara etimologis, konsep pandalungan berasal dari kata dalung yang berarti “dulang besar terbuat dari logam” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1985). Arti simboliknya pandalungan adalah gambaran wilayah yang menampung beragam kelompok etnik dengan latar belakang budaya berbeda, yang kemudian melahirkan proses hibridisasi budaya. Istilah pandalungan berarti ‘berbicara/berkata dengan tiada tentu adabnya/sopan-santunnya’ (Prawiroatmodjo, 1981:53-81). Dalam realitas kehidupan masyarakat dan kebudayaan di kawasan tapal kuda, definisi itu bisa berarti bahwa bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat bersangkutan adalah bahasa yang cenderung kasar (ngoko) atau bahasa yang dipergunakan antar masyarakat struktur egaliter. Seringkali dalam mengungkapkan sesuatu mereka menggunakan bahasa campuran, antara Jawa dan Madura. Sebagai sebuah budaya campuran, tentu memerlukan suatu proses yang cukup panjang, dan bahkan mungkin sampai saat ini masih terus berproses. Artinya, jika konsep pandalungan diartikan sebagai sebuah identitas budaya, maka identitas tersebut masih terus mencari bentuk.
Wilayah kebudayaan pandalungan (pandhalungan) merujuk kepada suatu kawasan di wilayah pantai utara dan bagian timur Provinsi Jawa Timur yang mayoritas penduduknya berlatar belakang budaya Madura. Pada umumnya orang orang pandalungan bertempat tinggal di daerah perkotaan yang secara histories sebagai melting pot, pusat pertemuan berbagai budaya. Dalam pertumbuhan sebuah kota, bagaikan sebuah “dulang besar” tempat bertemunya berbagai manusia dengan latar belakang budaya yang berbeda, maka secara tidak langsung menjadi pusat interaksi berbagai suku bangsa, yang memungkinkan terjadinya proses asimilasi melalui perkawinan campuran antar mereka (intermarriage). Dalam konteks inilah konsep dalung (=dulang besar) menjadi identik dengan konsep melting pot, sebagai pusat bertemunya berbagai etnis melalui proses asimilasi (intermarriage), meskipun dalam proses selanjutnya tidak selalu demikian. Melalui proses melting pot ini pula, dalam suatu wilayah kemungkinan besar terjadi bentuk-bentuk multikuturalitas. Proses amalgamasi yang merupakan percampuran budaya sebagai salah satu bentuk asimilasi mungkin juga bisa terjadi, meskipun amalgamasi tidak selalu tergantung pada asimilasi, sebagaimana identitas tidak selalu terkait dengan lokalitas atau kelompok tertentu. Demikian pula pandalungan sebagai sebuah identitas budaya, dalam perkembangannya juga tidak selalu terkait dengan lokalitas tertentu.
Secara administratif, kawasan kebudayaan pandalungan meliputi Kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang. Kawasan ini mungkin terus mengalami proses sebagaimana proses intrusi kultural yang selalu terjadi di berbagai kawasan lainnya. Sebagaimana konsep Berger (1966) yang memandang bahwa masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. Dialektika tersebut berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan yakni: “eksternalisasi” – penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia, “obyektivasi” – interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan, dan “internalisasi”- individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat dimana mereka menjadi anggotanya. Artinya, pandalungan sebagai sebuah identitas produk manusia, mengalami proses “penyesuaian”, “pelembagaan” dan sekaligus proses “internalisasi”, sebagaimana proses budaya lainnya.
Dalam konteks sosio-kultural, masyarakat pandalungan merupakan bagian dari masyarakat tapal kuda, yakni masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tapal kuda, yakni suatu kawasan di Provinsi Jawa Timur yang membentuk lekukan mirip ladam atau kasut besi kaki kuda. Kawasan ini memiliki karakteristik tertentu dan telah lama menjadi kantong pendukung Islam kultural dan kaum abangan. Pendukung Islam kultural dimotori oleh para kiai dan ulama, sementara kaum abangan dimotori oleh tokoh-tokoh politik dan tokoh-tokoh yang tergabung dalam aliran kepercayaan (Sutarto,2006).
Latar belakang kondisi geografis ini tampaknya juga ikut mempengaruhi karakter kedua suku yang cukup dominan di daerah tapal kuda ini. Orang Madura tipologinya cenderung mempunyai watak yang keras (temperamen tinggi), terbuka, kekerabatannya sangat kuat, dan merupakan pekerja yang keras. Sebaliknya, orang Jawa tipologinya bersifat lebih penyabar, hemat dan cermat, namun mereka juga merupakan pekerja yang keras. Perbedaan ini tampaknya tidak menyimpang dari gambaran Kuntowidjoyo (1980: 525-526) yang menyatakan bahwa latar belakang kondisi geografis yang kering di daerahnya (bercocok tanam di tegalan) membuat orang Madura cenderung lebih individual dibandingkan dengan orang Jawa. Sedangkan orang Jawa yang berasal dari daerah subur (pertanian sawah), membentuknya menjadi lebih bersifat komunal dan akrab dengan alam.
Perbedaan kedua karakter ini, di wilayah melting pot tampaknya tidak terlalu berpengaruh bagi kedua etnik yang bersangkutan, sebab pada akhirnya terjadi akulturasi budaya satu sama lain. Kedua etnik ini menyadari kenyataan bahwa mereka harus menghadapi situasi tekanan struktural dan kondisi alam yang sama, sehingga terjalinlah hubungan harmonis antara keduanya sampai saat ini. Penduduk wilayah Timur Jawa Timur pesisir Utara ini pada umumnya dapat saling memahami kedua budaya yang berbeda, bahkan sebagian besar masyarakat daerah ini mampu “berkomunikasi” dengan “dua bahasa etnik” ini dengan baik.
Tak dapat dipungkiri bahwa keterbukaan wilayah dan kesuburan daerah pertanian Jawa Timur bagian Timur pada masa lalu (penjajahan Belanda) itu mengundang banyaknya pendatang ke wilayah ini. Perpindahan penduduk dari berbagai etnik ke daerah Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang dan Jember ini membuat penduduknya menjadi sangat heterogen. Dengan cepat daerah ini dipenuhi oleh bermacam-macam etnik seperti Madura, Jawa, Orang Osing, Sunda, Cina, Orang Mandar, dan beberapa suku lainnya (Yuswadi,2005; Arifin, 1990: 23 - 25). Heterogenitas penduduk daerah ini terus berkembang bersamaan dengan pertumbuhan wilayahnya.

II. Pola Hibridisasi Budaya Masyarakat (Pandalungan)
Wilayah Jawa Timur bagian Timur (tapal kuda) adalah “tanah harapan” bagi para perantau Jawa maupun Madura. Bagi orang Jawa dari kawasan budaya Mataraman wilayah ini menjadi tempat mencari rezeki alternatif yang tidak kalah suburnya dengan tempat asal mereka di wilayah dataran rendah. Sedangkan bagi orang Madura wilayah ini telah menjadi tumpuan kehidupan yang sangat menjanjikan dibandingkan tempat asalnya. Kesulitan sosial ekonomi dan kondisi geografis Pulau Madura yang pada masa-masa penjajahan sangat gersang, telah mendorong orang-orang Madura Pulau bermigrasi ke kawasan tapal kuda. Kepentingan sosial-ekonomi merupakan faktor dominan yang mewarnai peristiwa migrasi tersebut. Mereka datang dengan kemauan sendiri atau direkrut oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk dipekerjakan sebagai buruh perkebunan. Orang orang Madura dikenal sebagai pekerja keras, tekun, dan ulet sehingga menarik perhatian Pemerintah Kolonial Belanda (Sutjipto, 1983:302-339). Mengalirnya kedua suku dominan di wilayah ini dengan latar belakang status sosial yang sangat beragam telah melahirkan tipe kebudayaan orang pandalungan yang agraris-egaliter.
Bertemunya berbagai suku bangsa menjadi penduduk wilayah ini menyebabkan munculnya sebuah budaya yang relatif unik. Tradisi dan identitas masing-masing suku berhubungan secara dialektis. Setiap kultur membawa dan berusaha mempertahankan tradisinya masing-masing, demikian pula dengan masyarakat Madura dan masyarakat Jawa yang sangat dominan. Untuk melestarikan kultur yang mereka miliki, biasanya masing-masing komunitas berusaha mensosialisasikan kultur tersebut kepada komunitasnya. Melalui proses sosialisasi akan terjadi proses internalisasi nilai-nilai kehidupan sosial budaya masing-masing masyarakat, baik komunitas Jawa maupun komunitas Madura.
Proses sosialisasi tradisi pada masing-masing suku bangsa di wilayah melting pot sangat dipengaruhi pilihan strategi yang tepat, meskipun apa yang mereka lakukan itu tanpa mereka sadari sebagai sebuah strategi. Pertimbangannya adalah dalam proses sosialisasi tersebut secara tidak langsung akan terjadi persinggungan antar komunitas, sehingga pilihan strategi tertentu memungkinkan terjadinya pandangan oleh anggota masyarakat sebagai suatu intrusi kultural yang akan mendisonansi struktur kognitifnya yang telah mapan. Apabila hal ini terjadi, maka dapat mendorong mereka berupaya mempertahankan kemapanan struktur kognitifnya. Upaya mempertahankan kemapanan struktur kognitif bukannya tanpa resiko, karena merekapun mengetahui konsekuensi dari selective incentives (istilah Lichbach,1995) pilihan tindakan reaksi akumulatif yang dipilihnya dalam kehidupan kultural yang berubah. Dalam proses interaksi cultural, baik masyarakat Jawa maupun masyarakat Madura secara tidak langsung menyadari bahwa cepat atau lambat mereka akan mengalami proses perubahan. Namun demikian, mereka akan merasa memperoleh kepuasan dengan mengembangkan konsepsi pemikiran dengan cara bertahan pada ideologi tradisionalnya masing-masing. Artinya, dalam proses intrusi kultural dari keduabelah pihak terjadi upaya saling bertahan. Pada momentum seperti ini memungkinkan timbulnya resistensi sosial akibat dipicu oleh pilihan tindakan untuk mempertahankan struktur kognitif yang mengalami disonansi mekanisme perubahan kultural yang menyentuh kehidupan sehari-hari suatu masyarakat. Dengan terjadinya proses sosialisasi pada masing-masing komunitas tersebut, yang terjadi adalah kecenderungan memperkokoh konstruksi identitas kultural pada lokalitasnya masing-masing.
Pada masyarakat Madura yang cenderung memiliki kekerabatan yang kuat, untuk mempertahankan identitas kulturnya mereka cenderung mempertahankan pola tinggal berkelompok, dalam pola "taneyan lanjang" meskipun tidak sempurna. Dengan pola tinggal semacam itu, mereka berharap mampu bertahan dari berbagai hal, termasuk keamanan lingkungannya. Hal seperti ini masih tampak di daerah-daerah pedesaan pinggiran kota. Sebagaimana generasi pendahulu mereka yang datang ke wilayah sebagai pekerja, maka mereka pada umumnya merupakan pekerja keras. "Hidup itu harus bekerja, memahami cara kerja, dan menghargai kerja orang".
Demikian pula sebaliknya, pada masyarakat Jawa, juga cenderung masih mempertahankan kultur Jawa dengan memegang teguh harmoni, yaitu kondisi hidup yang serasi dan selaras dalam hubungan interaksinya. Masyarakat harus hidup "rukun", untuk mencapai ketenteraman dan kedamaian satu sama lain. Harmoni juga berarti harus bisa mengatasi perbedaan-perbedaan, bisa bekerjasama dan saling menerima untuk mencapai tujuan hidup. Di mata orang Jawa, menjadi "Jawa" berarti harus menjadi manusia yang beradab, memahami bagaimana seharusnya bertingkah laku yang baik. Hidup yang benar adalah hidup sebagai orang Jawa, memperlihatkan tingkah laku yang halus, sopan, sabar, berkata-kata yang pantas dan mempertahankan tatanan yang teratur.
Di samping itu, kedua kelompok masyarakat yang dominan tersebut saling berinteraksi, berkomunikasi dan membangun sistemnya sendiri. Hal yang sangat penting di sini adalah bahwa dalam proses interaksi itu terjadi proses dialogis makna, pesan-pesan yang dipertentangkan, dipadukan, atau saling dipertukarkan posisinya, antara subyek dan obyek komunikasi secara timbal balik. Friedman (1995:70) menamakan proses seperti ini sebagai suatu bentuk “atribusi makna-makna”, dan Pieterse (1995:46) menyebutnya dengan istilah "hibridisasi". Secara umum hal yang demikian itu dapat pula dikategorikan sebagai saling tular-menularkan nilai dan gaya hidup.
Dalam proses sosialisasi masing-masing kultur yang dibawanya, maka perbenturan dua kultur tersebut secara tidak langsung akan terjadi. Sebab proses saling mempengaruhi tersebut tidak berhadapan dengan “wilayah kosong”. Artinya interaksi dua masyarakat dominan tersebut berlangsung antara dua pihak yang sudah memiliki identitas kultural dan tradisi sendiri-sendiri. Penduduk di wilayah Jawa Timur bagian Timur ini, yang masing masing membawa identitas kultur dari daerahnya, pada akhirnya membangun mekanisme untuk saling menonjolkan kultur spesifiknya. Latar belakang kesamaan nasib sebagai perantau dan pendatang baru, tampaknya menghasilkan suatu bentuk “kompromi budaya” yang harmonis (budaya pandalungan) yang dikenal dengan proses "hibridisasi budaya".
Masing-masing etnis yang mendiami wilayah ini tampaknya tidak berusaha untuk saling mempertahankan identitas partikularistik tradisionalnya. Baik orang Jawa maupun orang Madura saling membuka diri terhadap budaya yang dibawa oleh masyarakat lainnya. Perkembangan kultural di wilayah ini pada tahap selanjutnya justru mengembangkan praktik amalgamasi budaya, terutama sentuhan-sentuhan dari budaya dominan. Sehingga situasi kehidupan budaya mengarah pada bentuk multikulturalitas fluid dalam bentuk interkulturalitas ( Pieterse,1995:46). Artinya, baik orang Madura maupun orang Jawa mau menerima budaya masing-masing pihak dengan damai.
Baik masyarakat Jawa maupun masyarakat Madura saling dapat menggunakan budaya masing-masing pihak. Meskipun demikian bukan berarti pula tidak ada kultur etnis yang mengalami marginalisasi. Proses “marginalisasi” dengan sendirinya terjadi pada kultur etnis yang relatif kecil sumbangannya kepada komunitas masyarakat baru tersebut. Amalgamasi budaya secara tidak langsung didominasi dua etnis besar yang menguasai wilayah ini. Dalam proses yang demikian itu terjadi pula “invensi” maupun “modifikasi” kultur yang melahirkan identitas kultur baru. Identitas kultur baru yang dianggap berbeda dengan kultur yang membentuknya tersebut sering dikenal dengan istilah lokal sebagai "pandalungan".
Identitas kultur baru yang dikonstruksi kedua masyarakat dominan ini tidak lagi terkungkung pada budaya etnis tertentu, tetapi sangat dipengaruhi oleh besarnya komunitas yang dominan di suatu wilayah sosialisasi budaya. Masyarakat Madura yang sebagian besar berbudaya santri, keras, ekspresif, dan bersifat paternalistik, berhasil mewarnai perilaku masyarakat di wilayah pandalungan ini. Demikian pula sebaliknya masyarakat Jawa, meskipun jumlahnya relatif lebih sedikit dibanding dengan masyarakat Madura, berhasil mewarnai budaya komunikasi. Identitas kultur khas pandalungan ini merupakan kompromi dua kultur dominan yang telah bertahun-tahun membangun suatu bentuk percampuran yang multikultur. Secara skematis proses terbentuknya budaya pandalungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:







Gambar 1. Hibridisasi Budaya Masyarakat Pandalungan.
(Yuswadi,2001)

Pembentukan budaya pandalungan juga dapat digambarkan dengan pola lingkaran konsentris, yang terdiri dari pusat kota dengan lingkaran kantong-kantong budaya yang melingkupinya. Pusat kota sebagai melting pot menjadi pusat pertemuan dua budaya dominan dan menjadi pusat lingkaran konsentris. Kutub positif berada di pusat kota dan kutub negatif berada di pinggiran.








Gambar 3. Gradasi Budaya Pandalungan menurut Lingkaran Konsentris.
(Yuswadi,2001).

Jika pola tinggal masyarakat dominan berdasarkan kantong-kantong budaya yang melingkari pusat kota, maka maka degradasi perubahan kultural disinyalir juga mengikuti sifat lingkaran konsentris dari pola konsentrasi etnis tersebut. Artinya semakin menjauh dari pusat kota semakin tampak memudarnya budaya khas tersebut dengan mengikuti pola budaya dominan. Identitas budaya pandalungan tersebut secara degradatif menjadi semakin memudar kekhasannya di wilayah pinggiran kota.
Secara obyektif rincian empat kategori masyarakat pandalungan tersebut yaitu : masyarakat Madura, masyarakat Transisi Madura, masyarakat Transisi Jawa, dan masyarakat Jawa. Masyarakat Madura adalah masyarakat yang memiliki latar belakang kultur Madura, dan sampai sekarang sebagian besar masih mempertahankan tradisi leluhurnya dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Jawa, adalah penduduk yang memiliki latar belakang kultur Jawa dan sampai sekarang masih mempertahankan tradisi leluhurnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan mengikuti pemilahan tersebut di atas maka gambaran geografis lokalitas kultural dapat diuraikan sebagai berikut: Masyarakat transisi Madura, mendiami wilayah pusat kota yang didominasi keturunan Madura, semakin ke pinggiran – semakin jauh dari lingkaran konsentris - tampak semakin pudar budaya khas tersebut dan cenderung bergeser menjadi budaya Madura. Hal ini terjadi jika wilayah pedesaaan pinggiran kota tersebut dihuni oleh orang-orang Madura. Masyarakat transisi Jawa, mendiami wilayah pusat kota yang didominasi keturunan Jawa, semakin ke pinggiran (semakin jauh dari pusat kota), tampak semakin pudar budaya khas tersebut, dan cenderung bergeser menjadi dominan Jawa. Hal ini terjadi jika wilayah pedesaan pinggiran kota tersebut banyak dihuni orang-orang Jawa.

III. Budaya Pandalungan


Masyarakat Pandalungan adalah masyarakat yang berada dalam posisi transisi dalam pola sosial budayanya. Masyarakat Transisi adalah masyarakat yang memiliki kultur campuran antara dua budaya dominan yang ada. Etika sosial, seperti tata krama, sopan-santun, atau budi pekerti orang pandalungan berakar pada nilai-nilai yang diusung dari dua kebudayaan yang mewarnainya, yakni kebudayaan Jawa dan Kebudayaan Madura. Mereka yang berada di wilayah dominan Madura, mereka cenderung memiliki karakteristik kultur transisi antara Jawa-Madura tetapi karena mereka tinggal di wilayah yang dominan Madura maka pengaruh adat istiadat, budi pekerti kultur Madura relatif sangat kuat. Karakteristik tersebut tampak pada cara mereka berkomunikasi, yaitu menggunakan bahasa Jawa campur Madura, akan tetapi perbendaharaan bahasa dan logat Madura sangat tampak. Kondisi demikian, mau tidak mau membawa pengaruh terhadap sikap dan perilaku sopan-santun, tatakrama, dalam pergaulan sehari-hari.
Sebaliknya mereka yang berada di wilayah dominan Jawa, mereka cenderung memiliki karakteristik kultur transisi Jawa-Madura, tetapi pengaruh kultur lingkungan yang dominan Jawa, mengakibatkan adat istiadat dan budi pekerti kultur Jawa relatif sangat kuat membentuk perilakunya. Hal demikian sangat tampak dalam cara mereka berkomunikasi , yaitu menggunakan bahasa Jawa campur Madura tetapi perbendaharaan bahasa dan logat Jawa sangat kuat.
Satu hal yang tampaknya juga cukup menarik adalah kecenderungan masyarakat di pusat lingkaran konsentris tersebut untuk menggunakan bahasa Jawa, meskipun mereka berasal dari komunitas yang berbeda. Penggunaan bahasa Jawa yang sangat dominan ini, dapat ditandai oleh semakin mengaburnya penggunaan bahasa asal komunitas untuk digantikan dengan penggunaan bahsa Jawa meskipun dengan ragam bahasa yang kasar. Meskipun masyarakat Madura secara kuantitatif lebih dominan, di wilayah pusat kota justru penggunaan bahasa Jawa lebih mendominasi pergaulan sehari-hari. Akan tetapi, kultur Madura yang ekspresif, terbuka, paternalistik, tidak banyak basa-basi, memiliki pengaruh yang sangat kuat pada sikap keseharian masyarakat pandalungan ini.
Dalam perilaku sehari-hari, masyarakat transisi atau orang pandalungan sangat akomodatif, toleran dan menghargai perbedaan. Jika merasa tidak senang, mereka akan segera mengungkapkannya. Sebaliknya, jika merasa senang, mereka pun akan segera mengatakannya. Di kawasan ini hampir tidak pernah terjadi konflik antar kelompok etnik. Konflik yang pernah dan mungkin terjadi, lebih disebabkan akar konflik berupa kecemburuan sosial yang bernuansa ekonomi, politik, pribumi dan nonpribumi, atau bernuansa keagamaan. Dalam perkembangan selanjutnya, budaya orang pandalungan sangat sarat dengan nuansa Islam. Hal itu terjadi karena di wilayah ini ulama dan kiai bukan hanya menjadi tokoh panutan, melainkan juga tokoh yang memiliki akar kuat pada beberapa kekuatan politik (Sutarto,2006).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, terdapat beberapa ciri umum masyarakat pandalungan antara lain:
1. Masyarakatnya cenderung bersifat terbuka dan mudah beradaptasi.
2. Sebagian besar lebih bersifat ekspresif, cenderung keras, temperamental, transparan, dan tidak suka berbasa basi.
3. Cenderung bersifat Paternalistik: keputusan bertindaknya mengikuti keputusan yang diambil oleh para tokoh yang dijadikan panutan.
4. Menjunjung tinggi hubungan primer, memiliki ikatan kekerabatan yang relatif kuat, sehingga penyelesaian persoalan seringkali dilakukan dengan bersama-sama (keroyokan).
5. Sebagian besar masih terkungkung oleh tradisi lisan tahap pertama (primary orality) yang memiliki cirri-ciri suka mengobrol, ngrasani (membicarakan aib orang lain), takut menyimpang dari pikiran dan pendapat yang berlaku umum (solidaritas mekanis).
6. Sebagian besar agraris tradisional, berada di pertengahan jalan antara masyarakat tradisonal dan masyarakat industri; tradisi dan mitos mengambil tempat yang dominan dalam kesehariannya (Sutarto, 2006).

IV. Beberapa Produk Kesenian Masyarakat Pandalungan
Perkembangan kesenian di wilayah pandalungan tidak terlepas dari bentuk-bentuk akulturasi dan akomodasi produk kesenian etnis dominan. Percampuran budaya tampaknya sangat mempengaruhi ekspresi masyarakatnya dalam berkesenian. Sudah tentu proses invensi dan modifikasi kesenian juga terjadi. Sebagai sebuah media berkomunikasi, maka produk kesenian yang berkembang di wilayah pandalungan melahirkan pola ekspresi yang cenderung akomodatif, egaliter, cenderung kasar, dan marginal. Pola ini berkembang tampaknya lebih didorong oleh keinginan mengedepankan sifat komunikatif antar etnis yang ada. Beberapa produk kesenian tersebut tampaknya sudah kurang banyak diminati oleh masyarakat (bahkan sebagian nyaris punah), karena tergilas oleh produk kesenian modern yang cenderung instant dan pragmatis. Berikut ini beberapa produk kesenian pernah berkembang dan relatif masih memiliki pendukung di wilayah kebudayaan pandalungan.

1. Musik Patrol:
Kesenian ini masik terus berkembang di wilayah kabupaten Jember dan sekitarnya, yang dilhami oleh tradisi ronda malam di jaman dahulu. Alatnya terdiri dari seruling, beberapa ketongan besar dan kecil dari kayu dan bambu. Musik patrol ini dalam perkembangannya terus mengalami modifikasi, serta variasi meskipun tetap memiliki keterbatasan.
2. Jaran Kencak:
Jaran kencak adalah kesenian rakyat dalam bentuk kuda yang dilatih menari. Agar menarik perhatian maka kuda ini diberikan aksesoris warna-warni. Biasanya diiringi musik kendang, kenong, teropet tradisional (sronen). Kesenian ini perkembangannya agak terhambat oleh semakin berkurangnya perternak kuda di wilayah pedesaan.
3. Hadrah:
Suatu bentuk kesenian yang bernafaskan Islam yang terdiri dari beberapa rebana kecil, untuk mengiringi sholawat nabi.


4. Terbangan:
Kesenian bernafaskan Islam yang terdiri dari beberapa alat musik rebana besar yang memiliki nada suara yang berbeda satu sama lain.
5. Kentrung:
Seni kentrung adalah pelantunan pantun Madura yang diiringi bunyi rebana
atau terbang. Seni ini masih banyak dijumpai di kantong-kantong kebudayaan
Madura di wilayah tapal kuda
6. Singo Ulung :
Singo ulung adalah tarian rakyat dari Kabupaten Bondowoso, yang menggambarkan legenda peperangan dua tokoh sakti.
7. Can-macanan Kadduk:
Can macanan kadduk adalah tarian rakyat Jember yang merupakan produk
masyarakat agraris pandalungan. Tarian ini melambangkan keperkasaan harimau
atau macan yang diposisikan sebagai hewan yang sangat ditakuti
8. Lengger:
Lengger adalah tarian rakyat yang mirip dengan tandhak atau tledhek yang
dikenal dalam wilayah kebudayaan Jawa.
9. Topeng :
Sebuah kesenian panggung mirip dengan ludruk (sandiwara), tetapi dialog menggunakan bahasa Madura dan kidungannya menggunakan bahasa Madura dan Jawa. Ceriteranya sangat beragam, mulai ceritera klasik berlatar belakang sejarah sampai ceritera modern tentang kehidupan sehari-hari.
10. Janger:
Janger adalah sandiwara rakyat yang pementasannya mirip dengan ketoprak
yang terdapat dalam wilayah kebudayaan Jawa. Iringan Musik (gamelan) menggunakan gamelan Bali atau Banyuwangi, tetapi gending dan syair yang dinyanyikan menggunakan bahasa Jawa. Kostum pemain ketika di atas pentas hamper seluruhnya menirukan kustum janger Bali atau Banyuwangi. Ceritera yang dimainkan biasanya sekitar sejarah Majapahit, Blambangan, Jenggala dan Daha. Janger berpentas hingga pagi hari, tembangannya menggunakan bahasa Jawa, dengan dialog menggunakan bahasa Madura.
11. Mamacah (Macapat: Bhs.Jawa):
Seni membaca cerita dengan cara dilagukan (macapatan) yang biasanya diiringi dengan seruling. Kitab yang dibaca biasanya mengisahkan ceritera Menak (Ceritera 1001 malam). Tembangan biasanya dengan nada tinggi, bahasa yang dilagukan biasanya bahasa Jawa, tetapi kemudian ditafsirkan dalam bahasa Madura. Kesenian ini sudah hampir punah, karena tidak ada regenerasi.
12. Pencak Silat:
Permainan pencak silat yang diiringi dengan kendang, kecrek, rebana dan bedug besar (Jidur: Bhs. Madura)

V. Penutup
Budaya pandalungan adalah hasil hibridisasi yang bersifat multikultur. Akan tetapi, budaya yang masih selalu dalam proses mencari bentuk ini tentu cenderung bersifat “rapuh” dan selalu mengalami penyesuaian. Budaya pandalungan ibarat sebuah pelangi, memiliki ketergantungan terhadap spektrum warna yang mempengaruhinya. Meskipun demikian, sebuah pelangi tetap merupakan kombinasi berbagai warna yang selalu mencerminkan harmoni keindahan. Sebagai sebuah budaya hasil hibridisasi dan bentuk multikulturalitas, maka budaya pandalungan dapat mencerminkan masa depan budaya keindonesiaan yang berlatar belakang masyarakat majemuk.
Dengan mengikuti pola lingkaran konsentris yang berpusat pada wilayah melting pot sebagai perpaduan berbagai kelompok etnis, maka pusat budaya cenderung memiliki warna kultur dominan. Semakin jauh dari pusat budaya konsentris, semakin memudar dan semakin mendekati warna kultur dominan. Artinya, semakin jauh dari pusat budaya pandalungan maka akan semakin mendekati budaya asli yang membentuknya.
Produk-produk budaya dan kesenian di wilayah pandalungan merupakan media komunikasi antar etnis yang efektif untuk menjadi simbol kearifan lokal. Amat disayangkan, jika pelestarian simbol-simbol kearifan lokal tersebut, tidak terjaga dengan baik. Oleh karena itu, campur tangan pemerintah dan pemerhati budaya sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian budaya pandalungan ini.



Daftar Pustaka

Friedman J, 1995. "Global System, Globalization and the Parameters of Modernities", In (M. Featherstone, S.Lash, R.Robertson,eds.) Global Modernities, London: SAGE Publications, pp.69-90.

Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya.

Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Soeryo, 1991 Sejarah Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media.

Kuntowijoyo, 1980. "Social Change in Agrarian Society : Madura 1850 - 1940". Disertation. New York : Columbia University.

Pieterse, Jan Nederveen, 1995 "Globalization as Hybridization" dalam Mike Featherstone, et.al., (Eds.) Global Modernities , London - Thousands Oaks - New Dekhi : SAGE Publications.

Prawiroatmodjo, S. 1981. Bausastra Jawa – Indonesia II. Jakarta: Gunung Agung.

Sutarto, Ayu. 2006. “Sekilas tentang Masyarakat Pandalungan” Makalah Pembekalan Jelajah Budaya 2006”, diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 7 – 10 Agustus 2006.

Sutjipto, F.A. 1983. “Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura: Abad XVII sampai
dengan Medio Abad XIX”. Disertasi yang tidak diterbitkan.

Yuswadi, Hary, 2001. “Masyarakat (Pandalungan) Jember – Pola Hibridisasi Budaya Antar Etnik” . Jurnal Sosial Budaya dan Politik (JSBP) – Vol I. No.1 (Nopember 2001) LKPK dan LKPM – FISIP - Universitas Jember.

Yuswadi, Hary, 2005. Melawan Demi Kesejahteraan – Bentuk Perlawanan Petani Jeruk terhadap Kebijakan Pertanian. Jember: Kompyawisda – Jawa Timur.